Sebagai bentuk komitmen mencapai target nol emisi GRK bersih 2060, Indonesia telah menandatangani deklarasi Global Coal to Clean Power Transition pada Konferensi Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) COP26. Artinya, penghentian penggunaan batu bara sebagai sumber energi kini menjadi sebuah keniscayaan. Lantas, mengapa transisi Indonesia ke sumber energi baru terbarukan terkesan masih setengah hati?

Deklarasi Global Transisi Batu bara ke Energi Bersih yang ditandatangani Indonesia bersama lebih dari 40 negara di Glasgow, Skotlandia (4/12/21) terdiri dari empat klausa:

  1. Mempercepat pengembangan energi bersih dan efisiensi energi,
  2. Mempercepat perkembangan teknologi dan kebijakan untuk mencapai transisi lepas dari pembangkit listrik yang tidak menggunakan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (unabated coal-fired power plan),
  3. Menghentikan penerbitan izin baru dan pembangunan proyek PLTU batu bara yang tidak menggunakan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon, dan
  4. Menguatkan upaya domestik dan internasional untuk menyediakan kebijakan finansial, teknis, dan dukungan sosial untuk transisi yang adil dan inklusif.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif sebagai perwakilan Indonesia memutuskan untuk tidak berkomitmen pada poin nomor tiga, lantaran beberapa proyek PLTU yang baru atau sedang berjalan belum tentu dilengkapi teknologi penangkap dan penyimpanan karbon. Meski demikian, Menteri ESDM mencantumkan bahwa Indonesia bersedia mempercepat proses penghentian bertahap (phase out) batu bara sebelum tahun 2040, atau bahkan lebih awal dengan dukungan internasional. 

Sebagai negara pengguna batu bara terbesar di Asia Tenggara, keterlibatan Indonesia dalam deklarasi tersebut di satu sisi sangat diapresiasi. Di sisi lain, keputusan untuk tidak terikat pada semua klausul membangkitkan pertanyaan terkait keseriusan Indonesia dalam menyudahi ketergantungan pada batu bara. 

Padahal, komitmen Indonesia untuk sesegera mungkin meninggalkan batu bara tak hanya turut menentukan tercapainya target nol emisi GRK bersih 2060, namun juga pencegahan kenaikan suhu bumi di atas 2 derajat Celsius pada 2100.

Ada apa dengan batu bara?

Pembakaran batu bara, terutama sejak dimulainya revolusi industri, merupakan pendorong utama krisis iklim yang kita alami saat ini. 

Lebih dari tiga perempat total emisi gas rumah kaca (GRK) global berasal dari konsumsi energi, yang sebagian besarnya dihasilkan oleh bahan bakar fosil. Dari semua jenis bahan bakar fosil, batu bara mewakili lebih dari 40% total emisi karbondioksida (CO2) global. Angka tersebut praktis mengukuhkan posisi batu bara sebagai penyumbang utama emisi GRK dunia.

Fig. 1. Emisi CO2 tahunan global dari bahan bakar fosil (1959-2020)
dalam miliar ton CO2 per tahun (GTCO2).
Data oleh Global Carbon Project, visualisasi oleh Carbon Brief.

Bahkan dengan penurunan permintaan akibat pandemi COVID-19, batu bara masih bertahan sebagai penyumbang CO2 terbesar di dunia (13,98 miliar ton) sepanjang 2020, disusul oleh minyak bumi (11,07 miliar ton) dan gas alam (7,40 miliar ton). Hal ini terutama nyata di wilayah Asia, dimana batu bara menjadi sumber energi andalan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, apalagi di masa pemulihan dari pandemi.

Fig. 2. Emisi CO2 Asia berdasarkan bahan bakar.
Data oleh Global Carbon Project, visualisasi oleh Our World in Data.

Sebagai salah satu pengekspor sekaligus pengonsumsi batu bara utama dunia, Indonesia menempati peringkat ke-7 negara penyumbang emisi CO2 terbesar dari pembakaran batu bara di 2020. Bagaimana tidak?

Hampir separuh dari total kapasitas seluruh pembangkit listrik di Indonesia didominasi oleh Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).

Hingga kini, PLTU berbahan bakar batu bara masih menyuplai 66% total kebutuhan listrik nasional. Sementara itu, sumbangan pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT) masih kurang dari 15% dari total kapasitas instalasi yang terpasang.

Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) Perusahaan Listrik Negara (PLN) 2021-2030 memang tidak mencantumkan pembangunan PLTU baru setelah 2021. Namun, pemerintah tidak akan menghentikan proyek pembangkit listrik yang kontraknya telah ditandatangani maupun yang konstruksinya sedang berlangsung. Maka, masih akan ada tambahan PLTU dengan total kapasitas 13.819 megawatt (MW) hingga 2027. Kapasitas tersebut cukup untuk mencukupi listrik sekitar 5,5-12,4 juta rumah selama setahun.

Pemerintah bagaimanapun akan meninjau kemungkinan pensiun dini PLTU tenaga batu bara berkapasitas total 9,3 GW sebelum 2030. Menurut Menteri ESDM, penutupan dini PLTU tersebut akan dapat dilakukan apabila tercapai dukungan pendanaan hingga sebesar 48 miliar dolar AS atau mendekati senilai 690 triliun rupiah.

Menyandingkan pernyataan tersebut dengan komitmen iklim Indonesia (dokumen Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional [NDC] dan deklarasi global transisi batu bara ke energi bersih) serta rencana pembangunan dan energi nasional (RPJMN dan RUEN), terlihat ambivalensi posisi Indonesia terhadap batu bara . Ambivalensi tersebut umumnya bisa dijelaskan oleh tiga kerangka berpikir.

  • Potensi batu bara yang berlimpah akan sayang jika tidak dimanfaatkan,
  • Batu bara masih dianggap sebagai sumber energi termurah dan paling bisa diandalkan untuk memenuhi permintaan daya yang terus meningkat seiring bertambahnya jumlah penduduk,
  • Dibutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk menonaktifkan PLTU yang tengah beroperasi, terutama untuk dialihgunakan jadi pembangkit listrik EBT.

Dibuang sayang

Secara geologis, Indonesia memang sangat kaya akan sumber daya mineral, salah satunya batu bara. Total cadangan batu bara Indonesia per 2021 yaitu 38,84 miliar ton; sebagian besarnya ada di Sumatra dan Kalimantan. Angka tersebut belum termasuk ‘sumber daya’ batu bara—bagian endapan yang belum dikaji lebih lanjut seperti pada ‘cadangan’, namun diharapkan dapat dimanfaatkan—sebesar 143,7 miliar ton.

Dengan rata-rata produksi sebesar 600 juta ton per tahun, cadangan batu bara nasional diprediksi baru akan habis dalam 65 tahun ke depan, sepanjang tidak ditemukan sumber batu bara baru. Dari seluruh cadangan yang ada, pemerintah menetapkan alokasi kebutuhan dalam negeri atau domestic market obligation (DMO) sebesar 25%. Dari jumlah tersebut, hampir seluruhnya tersedot ke sektor industri, khususnya industri pembangkit listrik.

Fig. 3. Konsumsi final batu bara Indonesia berdasarkan sektor, 1990-2019.
Data oleh World Energy Balances dan Dokumentasi Database IEA 2021, visualisasi oleh International Energy Services (IEA).
Fig. 4. Konsumsi Batu Bara untuk Pembangkit Listrik Dalam Negeri (dalam juta ton).
Data oleh RUPTL, visualisasi oleh Kata Data.

Sebagai negara ekonomi berkembang dengan populasi terbesar keempat di dunia, kebutuhan energi nasional diproyeksikan akan terus meningkat. Kebutuhan listrik terutama akan naik signifikan begitu target elektrifikasi semua kendaraan umum tercapai pada tahun 2045. 

Untuk mencukupi kebutuhan tersebut, penggunaan batu bara dirasa masih relevan hingga setidaknya tiga dekade ke depan. Pasalnya, batu bara diklaim sebagai bahan bakar listrik termurah jika dibandingkan sumber energi lain. Dengan terus menggunakan batu bara, masyarakat dapat mengakses listrik dengan biaya yang relatif terjangkau. Gasifikasi batu bara juga diproyeksikan dapat mengurangi impor terhadap gas alam.

Jika dibandingkan, harga EBT di Indonesia saat ini memang masih lebih mahal dari batu bara. Meski demikian, tren pembangunan rendah atau nol karbon di masa depan akan membuat harga EBT makin kompetitif, seiring dengan bertambahnya kuantitas dan frekuensi penggunaannya. 

Untuk mencapai target nol emisi GRK bersih masing-masing, beberapa negara seperti Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok akan menghentikan pembiayaan pembangDengan kapasitas produksi yang terus meningkat, industri batu bara saat ini berkontribusi terhadap 5% Pendapatan Domestik Bruto (PDB) dan 12% dari total pendapatan ekspor negara per tahunnya. Beberapa negara yang menjadi tujuan umumnya ada di Asia, antara lain Tiongkok, India, Pakistan, Jepang, Korea Selatan dan Malaysia. Tiongkok sendiri mengimpor hampir setengah kebutuhan batu baranya dari Indonesia.

Pada akhirnya, rencana pemerintah untuk phase out batu bara mulai 2025 tidak serta-merta diartikan sebagai penghentian produksi dan konsumsi total dari bahan bakar fosil tersebut. Mengacu pada RUEN, produksi batu bara masih akan dipertahankan pada angka 400 juta ton per tahun hingga 2045, sebelum berhenti sama sekali di 2055.

Berbagai alternatif solusi yang telah diajukan untuk tetap mempertahankan penggunaan batu bara antara lain:

  • Penggunaan teknologi Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS) untuk menangkap dan menyimpan karbon hasil pembakaran,
  • Hilirisasi batu bara menjadi dimethyl ether (DME) dan metanol (CH₃OH) sebagai substitusi liquefied petroleum gas (LPG), serta diesel, bahan bakar jet, naphthol (via pencairan/liquefaction), dan bensin, ammonia, pupuk urea (via gasifikasi),
  • Pembakaran campuran batu bara dengan biomassa atau cofiring.

Dengan begitu, batu bara bisa turut diklasifikasikan sebagai energi ‘bersih’ dan ‘hijau’.

Murah meriah

Pembicaraan soal polemik soal batu bara kerap dikaitkan dengan masalah ketahanan energi (energy security) dan kemandirian energi (energy unan PLTU di luar negeri, termasuk di Indonesia. Investor global pun telah mulai beralih ke proyek-proyek yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Di lain pihak, harga batu bara yang murah sejatinya dipengaruhi oleh berbagai faktor. 

Selama ini, perhitungan harga batu bara belum memasukkan externality cost alias biaya kerusakan lingkungan dan ganti rugi atas dampak buruk terhadap masyarakat sekitar. 

Selain itu, industri batu bara mendapat dukungan besar pemerintah, mulai dari subsidi untuk investasi hilir hingga penerbitan instrumen legislatif pro-bisnis tambang seperti UU Mineral dan Batu bara (Minerba) dan UU Cipta Kerja. Banyak pihak mengaitkan hal ini pada keterlibatan beberapa politisi kunci, seperti Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan yang masing-masing memiliki saham di industri batu bara Indonesia.

Transisi ke EBT tidak murah

Untuk mencapai target nol emisi GRK bersih tahun 2060, Indonesia setidaknya harus berinvestasi pada program-program rendah karbon sebesar 150-200 juta dolar AS atau sekitar 2,15-2,87 triliun rupiah per tahun antara 2021-2030. Jumlah tersebut setara 3,4-4,5% dari total PDB. 

Sementara untuk mencapai target bauran EBT sebesar 23% pada tahun 2025 saja,  Institute for Essential Services Reform (IESR) memperhitungkan bahwa pemerintah akan membutuhkan investasi sebesar paling tidak 200 triliun per tahun. Berhubung badan usaha milik negara (BUMN) hanya mampu menyerap sekitar seperlima dari biaya, 80% sisanya perlu ditutup oleh keterlibatan investor swasta. Peran Independent Power Producer (IPP) terutama sangat diharapkan dalam pembangunan pembangkit listrik EBT di masa mendatang.

Jumlah investasi yang begitu besar sesungguhnya tidak mustahil untuk dijalankan. Hanya saja, ada beberapa pekerjaan rumah yang perlu dikerjakan terlebih dulu oleh Indonesia. 

Pertama-tama, pemerintah perlu menurunkan kapasitas energi fosil dalam bauran energi nasional. Kedua, subsidi energi fosil terutama untuk batu bara perlu diminimalisasi untuk menyeimbangkan lapangan tanding yang seimbang (level playing field) dengan EBT. Hal ini seharusnya memungkinkan mengingat kesuksesan reformasi Indonesia terhadap Bahan Bakar Minyak (BBM) sepanjang tahun 2017-2019. 

Ketiga, pemerintah perlu meningkatkan kerja sama multilateral maupun bilateral untuk mempercepat transisi energi. Kemitraan dengan Denmark untuk mengembangkan potensi EBT ekonomis di empat wilayah tanah air merupakan sinyal baik. Ke depannya, sistem kemitraan seperti REDD+ pada sektor kehutanan dan pertanian (AFOLU) mungkin juga bisa diadaptasi untuk sektor energi.

Sebagai tindak lanjut COP26, Asian Development Bank (ADB) juga telah meluncurkan program Energy Transition Mechanism (ETM) untuk mempercepat penghentian penggunaan tenaga batu bara dan peralihan ke energi bersih. Indonesia, bersama Filipina dan Vietnam, rencananya akan menjalani fase percontohan, di mana dana sebesar 2,5-3,5 miliar dolar AS (sekitar 35,8-50,2 triliun rupiah) akan dikumpulkan untuk menghentikan dua sampai tiga pembangkit listrik tenaga batu bara per negara.

Kutukan Sumber Daya Alam

Istilah resource curse, the resource trap, atau the paradox of plenty agaknya bisa dipakai untuk menggambarkan relasi antara Indonesia dan batu bara. Besarnya jumlah sumber daya fosil ini seakan justru menjadi alasan sulitnya melepas ketergantungan. 

Sementara itu, penghentian total operasi PLTU telah direncanakan pada 2040 sesuai rekomendasi Panel Ahli Antarnegara tentang Perubahan Iklim (IPCC). Jika transisi ke EBT masih juga belum berjalan optimal, Indonesia terancam mengalami kerugian finansial hingga sebesar 26 miliar dolar AS (sekitar 373,2 kuadriliun rupiah) akibat aset mangkrak (stranded asset) pada sektor PLTU batu bara.

Untuk menghindari hal tersebut, pemerintah perlu segera menggenjot transisi ke EBT sementara proses phase out batu bara berlangsung. Dengan demikian, sudah akan tersedia alternatif sumber energi yang mencukupi berikut ribuan lapangan pekerjaan baru saat PLTU terakhir berhenti beroperasi. Transisi ini antara lain dapat dilakukan dengan menaikkan kapasitas EBT pada bauran energi nasional secara signifikan. 

Berdasarkan RUPTL 2021-2030, bauran EBT untuk pembangkit listrik masih jauh dari ambisius, yaitu hanya berkisar 24,8% pada 2030. Selain itu, data potensi teknis EBT Indonesia sebesar 443,2 GW yang tercantum dalam RUEN belum diperbarui sejak 2014

Pemerintah tidak boleh lupa bahwa kekayaan sumber daya alam Indonesia tidak terbatas pada bahan bakar fosil, yang satu masa nanti akan habis. Berada di wilayah Cincin Api Pasifik, dikelilingi lautan, dan dilewati oleh garis khatulistiwa, Indonesia sejatinya memiliki potensi EBT yang nyaris tak terbatas, mulai dari tenaga surya, air, angin (bayu), dan samudra. Buktinya, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) bahkan sempat menjadi sumber hampir separuh dari produksi listrik nasional pada tahun 1970-an.

Bauran sumber energi pembangkit listrik Indonesia dari tahun ke tahun.
Data oleh World Bank dan Kementerian ESDM, visualisasi oleh transisi energi.id.

IESR melalui kajian bertajuk Deep decarbonization of Indonesia’s energy system menemukan bahwa:

  • Dekarbonisasi sebelum tahun 2050 akan membawa keuntungan ekonomi yang lebih besar daripada bertahan pada sistem seperti sekarang (business as usual),
  • Berdasarkan perhitungan ulang menggunakan sistem pendataan geospasial, Indonesia mempunyai total potensi teknis:
    • 7.879,43 GW untuk energi surya, angin, air dan biomassa, serta 
    • 7.308,8 GWh untuk biomassa serta penyimpanan daya hidro terpompa (pumped hydro energy storage/PHES) untuk mengatasi sifat intermitensi dari sumber EBT lainnya.

Dengan potensi yang begitu besar, EBT seharusnya bisa mencukupi 100% kebutuhan listrik tanah air pada tahun 2050, asal dikembangkan dengan baik. Meski demikian, sifat intermitensi beberapa sumber EBT masih kerap jadi alasan untuk menunda penghentian penggunaan batu bara. 

Berbeda dengan bahan bakar fosil yang bisa diolah kapan saja sesuai kebutuhan, beberapa sumber energi terbarukan tidak selalu dapat menghasilkan daya dengan intensitas yang konsisten setiap waktu. Fluktuasi energi tentunya akan terjadi saat debit air waduk turun, angin tidak bertiup terlalu kencang, atau cuaca mendung.

Namun, permasalahan intermitensi ini sesungguhnya bisa diatasi dengan teknologi penyimpanan (storage) seperti baterai yang bisa diisi ulang. Peluang Indonesia terkait pengembangan teknologi baterai, misalnya untuk komponen kendaraan listrik (EV), sebetulnya sangat besar. 

Selain lithium, material utama untuk produksi baterai bisa ditemukan di Indonesia, yaitu nikel dan kobalt.

Maka, selain menyiapkan seluruh biaya dan investasi yang dibutuhkan, Indonesia perlu segera menghitung dan memetakan kembali potensi EBT nasional di 34 provinsi. Kemudian, peta jalan dan analisis risiko perlu dibuat dengan mempertimbangkan intermitensi, variabilitas, kesiapan jaringan, dan kondisi di masa mendatang.

Pada saat bersamaan, dukungan finansial, politis, maupun legislatif yang awalnya berfokus pada batu bara perlu mulai dialihkan ke EBT. Dengan anggaran yang relatif terbatas, fokus pengembangan teknologi dan industri EBT perlu didahulukan alih-alih mencari alternatif mahal untuk mempertahankan rezim batu bara.

Yang paling penting, transisi dari sumber energi kotor ke bersih perlu dilakukan sedini dan semasif mungkin. Dengan demikian, Indonesia tak hanya berkontribusi menahan perubahan iklim dengan memotong emisi, namun juga memperbesar peluang untuk beradaptasi di dunia yang tak lagi bergantung pada energi fosil. 


All texts created by the Climate Tracker Asia are available under a “Creative Commons Attribution 4.0 International Licence (CC BY 4.0)” . They can be copied, shared and made publicly accessible by users so long as they give appropriate credit, provide a link to the license, and indicate if changes were made.

Categories: Fact SheetsTags: