Dalam satu dekade mendatang, sektor kehutanan dan penggunaan lahan (FOLU) menjadi andalan Indonesia untuk mengurangi emisi GRK. Targetnya, sektor ini akan mencapai carbon-sink pada 2030. Sayangnya, sejumlah syarat dan ketentuan perlu dipenuhi terlebih dulu.
Bicara soal sumber emisi gas rumah kaca (GRK) global, Indonesia merupakan anomali.
Melenceng dari tren global, sektor energi-listrik-transportasi justru menempati urutan kedua dari lima sumber emisi GRK utama di tanah air. Sebaliknya, sektor kehutanan dan penggunaan lahan (FOLU) sejak lama selalu menempati peringkat pertama. Perubahan guna lahan, penebangan hutan primer dan kebakaran hutan serta lahan gambut bertanggung jawab hingga 63% dari total emisi GRK Indonesia tiap tahunnya.
Dari sepuluh besar negara penyumbang emisi GRK global, hanya ada dua negara di mana emisi karbon terbesar berasal dari sektor pertanian, kehutanan dan lahan (AFOLU), yaitu Brazil (urutan ke-7) dan Indonesia (urutan ke-8). Berdasarkan data tahun 2018, 37,22 gigaton karbon dioksida ekuivalen (CO2e)—76% dari seluruh emisi GRK global—berasal dari sektor energi-listrik-transportasi.
Sektor FOLU, di sisi lain, hanya menyumbang 2,8% dari jumlah total atau sebesar 1,39 gigaton CO2e—lebih dari separuhnya (734,28 juta ton CO2e) berasal dari deforestasi dan kebakaran lahan gambut Indonesia. Jumlah tersebut setara dengan emisi GRK yang dilepaskan oleh 185 pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) secara bersamaan.
Namun, jika situasi tersebut dapat dihentikan atau bahkan diputarbalikkan, Indonesia berkesempatan menjadi “climate superpower”. Hal ini dapat dicapai berkat dari total emisi GRK yang dapat diserap dan disimpan oleh hutan dan lahan gambutnya.
Indonesia memiliki potensi untuk menyerap emisi GRK sangat besar karena negara Asia Tenggara ini memiliki hutan hujan tropis terluas ketiga di dunia setelah Brazil dan Republik Kongo. Sekitar 3% daratan dunia merupakan lahan gambut, yang memiliki kemampuan untuk menyerap dan menyimpan emisi GRK, dan 14-20 juta hektar di antaranya ada di Indonesia. Selain itu, seperempat hutan bakau dunia bisa ditemukan di tanah air.
Tidak heran, sektor FOLU dipandang memiliki peran penting untuk memenuhi lebih dari separuh komitmen iklim Indonesia dalam Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional (NDC) termutakhir. Persentase sektor ini mencapai 17,2% dari 29% penurunan emisi GRK dibandingkan laju sekarang (BaU) yang hendak dicapai dengan usaha sendiri pada tahun 2030.
Lantas, tahun 2030 tidak hanya ditargetkan sebagai tahun emisi puncak (peak emission) kelima sektor penyumbang GRK utama nasional. Pada tahun yang sama, sektor FOLU digadang-gadang akan menjadi yang pertama mencapai status carbon-sink. Begitu titik tersebut tercapai, sektor FOLU dapat mulai ikut menyerap emisi GRK dari sektor lain tanpa memengaruhi kapasitas sekuestrasinya sendiri.
Apa itu carbon-sink?
Ketika emisi karbon yang diserap melebihi jumlah yang dilepaskan ke atmosfer, maka tercapailah kondisi carbon-sink. Selisih GRK yang terserap ini disebut juga sebagai emisi negatif (negative emission).
Secara alami, tumbuhan secara alami menyerap karbon dari udara dalam bentuk gas karbondioksida (CO2). Tumbuhan kemudian menggunakan gas tersebut untuk diubah dalam proses fotosintesis menjadi biomassa atau materi organik sumber energi. Sebagian dari materi tersebut disimpan dalam bentuk buah atau di bagian lain dari tumbuhan. Proses fotosintesis juga menghasilkan gas oksigen (O2) yang kita hirup sehari-hari.
Namun layaknya makhluk hidup pada umumnya, tumbuhan juga melepaskan kembali gas CO2 melalui proses respirasi dan oksidasi. Proses respirasi dapat terjadi baik pada akar maupun di dalam tanah di sekitar akar oleh mikroorganisme pengurai.
Untuk sampai ke kondisi carbon-sink, pepohonan harus mampu menyerap karbon dengan laju fotosintesis jauh lebih cepat daripada laju respirasi. Berdasarkan studi oleh Oregon State University, laju proses ini akan terus meningkat seiring dengan bertambahnya usia pepohonan.
“Hutan-hutan yang tua dan matang merupakan para pekerja paling keras. Dari tahun ke tahun, mereka menyerap semakin banyak karbon dan menyimpannya dalam jumlah besar pada kayu.”
Dr. Beverly Law, peneliti dari Departemen Kehutanan, Oregon State University.
Maka, semakin besar dan tua suatu hutan, semakin banyak pula karbon yang diserap lebih dari yang dilepaskan. Jika pepohonan di hutan tua ini ditebang atau terbakar, karbon yang telah tersimpan dalam jumlah besar tersebut akan terlepas kembali ke atmosfer.
Maka dari itu, usia dan kondisi suatu hutan atau lahan sangat mempengaruhi potensinya sebagai carbon-sink. Keanekaragaman hayati, kondisi tanah, dan kondisi ekosistem hutan juga memainkan peran penting dalam proses penyimpanan karbon.
Tidak sembarang hutan dan lahan bisa mencapai carbon-sink
Hutan dan lahan ada banyak jenisnya.
Berdasarkan tempatnya tumbuh, hutan di Indonesia dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis: hutan tanah kering (dryland forest), hutan gambut (peatland forest), hutan rawa (swamp forest), dan hutan bakau (mangrove forest). Masing-masing memiliki ciri khas dan kapasitas tersendiri dalam menyimpan karbon.
Pada hutan tanah kering berusia matang seperti hutan hujan tropis alami, proses penyerapan karbon tidak hanya terjadi pada pepohonan besar dan tua. Vegetasi yang kaya jenisnya dan ekosistem yang berkembang secara alami turut menjaga siklus karbon berjalan sebagaimana mestinya.
Sementara itu, hutan gambut dan rawa umumnya berada saling berdekatan dan hampir selalu dalam kondisi tergenang. Lahan gambut terbentuk dari tumpukan sisa flora dan fauna masa lalu dan memiliki kapasitas penyimpanan karbon yang luar biasa besar.
Studi menunjukkan bahwa lahan gambut di Indonesia dapat menyimpan 20 kali lipat karbon dari tanah mineral biasa (53-60 gigaton CO2e)—sekitar 30% lebih banyak dari biomassa seluruh hutan nusantara. Tetapi potensi tersebut dapat hilang ketika gambut mengalami kerusakan sampai menjadi kering.
Untuk setiap hektar lahan gambut tropis yang dikeringkan, emisi GRK setara membakar 6.000 galon bensin (sekitar 55 ton CO2) akan terlepas tiap tahunnya.
Lahan gambut kering juga sangat rawan terbakar, baik secara alami akibat cuaca kering maupun oleh tangan manusia. Ketika terbakar, lahan gambut tak hanya melepas GRK dalam bentuk CO2 tapi juga metana (CH4), yang 21 kali lebih berbahaya dalam mengakibatkan pemanasan global.
Untuk mengurangi emisi karbon yang selama ini dihasilkan dari deforestasi dan kebakaran hutan daratan, pemerintah meningkatkan perhatian pada hutan bakau. Hutan ini tumbuh di wilayah pesisir dan dapat ditemukan hampir di seluruh wilayah kepulauan tanah air.
Dengan luas total sekitar enam kali Pulau Bali (3,5 juta hektar), hutan bakau Indonesia dapat menyerap dan menyimpan karbon lima kali lebih banyak dari hutan daratan.
Berdasarkan peruntukannya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sendiri mengklasifikasikan hutan menjadi dua : hutan alam dan hutan tanaman. Hutan alam dibagi lagi menjadi dua subkategori, yaitu hutan primer dan sekunder.
Hutan primer mencakup hutan alami yang relatif belum terjamah manusia. Sementara hutan yang sudah menunjukkan bekas gangguan atau tebangan disebut hutan sekunder.
Hutan tanaman, di sisi lain, merupakan hutan yang ditanam oleh manusia, seperti Hutan Tanaman Industri (HTI) yang ditanam untuk memenuhi kebutuhan industri kayu dan nonkayu, seperti getah dan resin. Umumnya, HTI ditanami tanaman sejenis (monokultur) dalam skala besar. Pada waktu tertentu, terutama pada HTI komoditas kayu, hutan akan ditebang untuk kemudian ditanami kembali.
HTI memprioritaskan tanaman yang cepat tumbuh—seperti sengon dan akasia—agar dapat dipanen sedini mungkin, umumnya tiap 10-20 tahun sekali. Padahal, sebelum mencapai usia tertentu, hutan relatif masih melepaskan CO2 lebih banyak dari yang diserap. Lantas ketika ditebang, karbon yang telah terkumpul di badan tanaman maupun di dalam tanah akan terlepas kembali ke atmosfer.
Selain itu, sistem tanam monokultur ini umumnya dijalankan dengan pemberian pupuk sintetis yang banyak mengandung unsur nitrogen. Meski dapat membuat tanaman lebih produktif, praktik ini berpotensi melepas gas dinitrogen monoksida (N2O), salah satu GRK yang dapat menangkap panas ratusan kali lebih kuat dari CO2.
Jika ditanam terlalu rapat, hutan monokultur juga dapat mengurangi intensitas sinar matahari yang menembus kanopi yang terbentuk dari cabang dan dedaunan pepohonan. Akibatnya, hutan semacam ini umumnya memiliki keanekaragaman hayati yang rendah.
Hutan industri, dengan demikian, paling tidak efektif dalam menyerap dan menyimpan karbon. Hutan semacam ini paling banter hanya menyimpan seperempat puluh dari GRK yang bisa diserap hutan alam.
Meski demikian, studi yang diterbitkan di jurnal ilmiah Nature tahun 2019 menemukan bahwa 45% program reboisasi yang diinisiasi 43 negara, termasuk India, Cina, dan Brazil, terdiri dari hutan tanaman. Sementara 21% yang lain diarahkan untuk wanatani.
Hal ini sayangnya senada dengan fakta di balik penurunan 75% deforestasi yang baru dicapai Indonesia pada periode 2019-2020. Menurut analisis Yayasan Madani Berkelanjutan, penurunan angka deforestasi terbesar terjadi pada hutan tanaman dan bukan pada hutan alam.
Sejauh apa upaya Indonesia dalam menangani deforestasi dan perusakan lahan?
Dalam dokumen NDC termutakhir, Indonesia menargetkan tercapainya pemulihan hutan dan lahan besar-besaran pada 2030. Restorasi lahan gambut ditargetkan mencapai 2 juta hektar, sementara rehabilitasi hutan dan lahan yang rusak diusahakan mencapai 12 juta hektar.
Selain itu, Indonesia juga tengah mengevaluasi instrumen Level Emisi Referensi Hutan (FREL) pertama yang sebelumnya telah diajukan pada 2015, mencakup deforestasi, perusakan hutan, dan dekomposisi gambut. FREL sendiri merupakan instrumen penting sebagai tolok ukur pelaksanaan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi lahan melalui skema REDD+. Mekanisme ini juga mencakup usaha mendorong konservasi, pengelolaan hutan berkelanjutan, dan peningkatan stok karbon hutan.
Indonesia mulai terlibat dalam mekanisme REDD+ sejak 2008—satu tahun sejak mekanisme tersebut dikenalkan di pertemuan iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Bali. Sejak saat itu, lebih dari 40 proyek telah dijalankan di lapangan, salah satunya dalam kerangka kesepakatan dengan Norwegia yang ditandatangani tahun 2010.
Dengan metode Pembayaran Berdasarkan Hasil (result-based payment, RBP), mekanisme REDD+ telah mendorong Indonesia membenahi praktik manajemen hutan. Pembayaran akan mulai dilakukan setelah negara membuktikan adanya pengurangan emisi dari deforestasi, dihitung menggunakan sistem pengukuran, pelaporan, dan verifikasi (MRV) terintegrasi yang komprehensif.
Pada tahun 2019, Norwegia selaku donor utama sepakat membayarkan $56 juta (Rp 804,8 miliar) atas upaya Indonesia mencegah emisi GRK sebesar 11,23 juta ton CO2e lewat penurunan deforestasi di tahun 2017. Meski demikian, Indonesia mendadak membatalkan perjanjian tersebut pada bulan September 2021. Alasan utamanya, pembayaran yang dijanjikan tak kunjung terealisasi meski nominal emisi yang dicegah telah terverifikasi.
Batalnya perjanjian REDD+ antara Indonesia dan Norwegia cukup disayangkan. Meski demikian, kasus ini membuka kesempatan untuk mempelajari tak hanya kelemahan pada mekanisme pembayaran berbasis karbon internasional, tapi juga pada sistem pengelolaan hutan dan lahan di tanah air.
Dalam lima tahun terakhir, Indonesia memang telah mengalami banyak kemajuan dalam pengelolaan sektor FOLU nasional. Selama periode 2016-2020, Indonesia mencapai titik deforestasi terendah dalam 20 tahun. Untuk pertama kalinya sejak 2002, Indonesia tidak lagi termasuk dalam tiga besar negara dengan kehilangan tutupan hutan primer tertinggi dunia.
Perubahan peringkat negara berdasarkan total kehilangan hutan primer
(sumber: Globar Forest Review, oleh World Research Institute (WRI) dan Global Forest Watch)
Kebakaran hutan dan lahan gambut (karhutla) besar-besaran tahun 2015 terutama menjadi titik tolak penting. Moratorium—penghentian pemberian izin—pembukaan hutan dan lahan gambut yang pertama dikenalkan tahun 2011 disahkan secara permanen tahun 2019. Secara teknis, moratorium ini diharapkan mampu menahan GRK sekitar 32 gigaton CO2e, setara emisi yang dihasilkan 6,1 miliar pengguna kendaraan dalam setahun.
Selain itu, pemerintah juga membangun Badan Restorasi Gambut (BRG) yang bertugas memfasilitasi percepatan restorasi gambut dan rehabilitasi hutan bakau di tanah air. Pada bulan Januari 2021, badan tersebut diberikan tugas tambahan untuk mempercepat restorasi bakau. Badan tersebut pun diubah namanya menjadi Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM).
Sebulan sebelum keberangkatannya ke Glasgow untuk menghadiri pertemuan iklim PBB atau COP26, Presiden Joko “Jokowi” Widodo bersama BRGM mengadakan beberapa acara tanam bakau massal di beberapa lokasi. Presiden Jokowi menyampaikan dalam rangkaian acara tersebut target rehabilitasi bakau telah tercapai di area seluas 34.000 hektar pada akhir tahun 2021.
Meski demikian, Global Forest Watch juga menemukan bahwa sejak 2001, Indonesia telah kehilangan area hutan primer seluas 270.000 hektar atau seluas negara Portugal.
Emisi GRK yang dihasilkan ditaksir mencapai 208 juta ton CO2e atau setara CO2 yang dihasilkan oleh 2,7 juta truk bensin.
Greenpeace juga mencatat adanya ketidakkonsistenan antara kuota deforestasi pada NDC Indonesia dengan kenyataan di lapangan. Menurut komitmen pemotongan 29% emisi GRK, deforestasi yang masih dapat ditoleransi hingga 2030 sebanyak 3,9 juta hektar. Pada skenario komitmen 41%, kuota tersebut turun drastis menjadi 845.000 hektar. Namun, Greenpeace menemukan bahwa dari 10,5 juta hektar kawasan hutan lindung nasional, 4,7 juta hektar di antaranya telah dipatok ke dalam area Hak Guna Usaha (HGU) dan HTI yang berpotensi menyebabkan pembukaan lahan lebih jauh.
Masih kurangnya koordinasi antara pusat dan daerah, lemahnya pengawasan di lapangan, serta kurangnya transparansi lembaga terkait, agaknya selalu jadi masalah klasik dalam upaya pelestarian hutan Indonesia.
Pengurangan luas hutan dan lahan terlarang bagi konsesi pada Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru (PIPPIB) 2021 dari periode I ke II oleh KLHK merupakan salah satu contoh nyata. Pada lahan gambut, terjadi pengurangan dari 5.288.971 hektar menjadi 5.266.963 hektar. Sementara pada hutan primer, pengurangan terjadi dari yang semula 9.655.876 hektar menjadi 9.638.649 hektar.
Menurut KLHK, hal ini terjadi akibat adanya area izin usaha yang belum tercatat dalam PPIB pada saat moratorium disahkan. Namun, Greenpeace sekali lagi mengamati bahwa perubahan pemetaan kerap terjadi, terutama pada praktik moratorium di tahun-tahun sebelumnya. Transparasi terkait tumpang tindih data pada pemetaan juga diperparah sulitnya akses terhadap data termutakhir terkait pemilik konsesi tiap tahunnya.
Lebih lanjut, Yayasan Madani Berkelanjutan juga mengamati bahwa masih terdapat 9,62 juta hektar hutan dan 2,8 juta hektar lahan gambut di Indonesia yang belum terlindungi moratorium. Sementara itu, EcoNusa mengingatkan bahwa luas hutan bakau nasional yang sudah dilindungi masih kurang dari satu juta hektar. Sebagian besarnya (sekitar 2,2 juta hektar) masih dalam status kawasan produksi dan area penggunaan lain (APL), berpotensi mengancam keberadaan tutupan lahan tersebut.
Ketidakcocokan komitmen dan praktik lapangan juga terjadi menyusul pencanangan program Food Estate. Dimaksudkan untuk membangun ketahanan pangan nasional, kebijakan ini mengatur pembukaan lahan pertanian masif terutama di daerah pelosok dan perbatasan seperti Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, dan Papua. Komoditas yang ditanam antara lain padi, singkong, jagung, bawang merah, dan tanaman hortikultura strategis lainnya.
Sejumlah pengamat dan lembaga kajian mengkhawatirkan ancaman deforestasi dan eksploitasi lahan yang lebih luas dalam pelaksanaan program ini.
Sayangnya, sekitar 92% dari seluruh wilayah pelaksanaan program Food Estatemasih mencakup hutan, lahan gambut, dan kawasan milik masyarakat adat.
Kekhawatiran kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh industri kelapa sawit juga tak kunjung usai.
Indonesia telah kehilangan sebagian besar wilayah hutan dan lahan gambut untuk menjadi pengekspor minyak kelapa sawit terbesar di dunia. Data Kementerian Pertanian menunjukkan terdapat 16 juta hektar perkebunan sawit di tanah air. Namun berdasarkan analisis sekretariat Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, 3,6 juta hektar di antaranya ditemukan di wilayah hutan dan hanya 4,1 juta hektar yang berizin.
Moratorium izin perkebunan kelapa sawit yang ditetapkan tahun 2018 memang memperlambat angka deforestasi, tapi tidak menghentikan sepenuhnya.
Menurut data Global Forest Watch yang dirangkum oleh Forest Watch Indonesia, penurunan area hutan yang dialihgunakan menjadi perkebunan yaitu 39.000 hektar pada 2018, 33.000 hektar pada 2019, dan 23.000 hektar pada 2020. Padahal, partisipasi komitmen No Deforestation, No Peat, No Exploitation (NDPE) sudah mencakup 80% di kalangan industri pulp dan kertas di Indonesia, dan 83% di antara unit pemurnian minyak sawit di Indonesia dan Malaysia.
Terlepas dari desakan para pemerhati lingkungan, moratorium sawit berakhir pada 2021 dan tidak diperpanjang. Padahal, ahli dan aktivis menilai moratorium tersebut menunjukkan kesuksesan di beberapa daerah seperti Papua Barat dalam menata ulang regulasi perizinan sawitnya.
Sebagai gantinya, UU Cipta Kerja akan mengambil alih penanganan pengelolaan lahan sawit di Indonesia. Keputusan ini dinilai problematik berhubung kebijakan tersebut dipandang relatif pro-bisnis dengan banyak pelonggoran terkait regulasi seputar perlindungan lingkungan.
Solusi carbon-sink terbaik: Setop deforestasi dan perusakan lahan gambut
Hutan membutuhkan waktu setidaknya puluhan tahun untuk mulai menyerap karbon lebih dari yang dilepaskan. Proses tersebut bahkan bisa memakan waktu ratusan tahun untuk lahan gambut. Sebaliknya, akumulasi karbon pada biomassa dapat terlepas sekaligus dengan relatif mudah. Hal ini berbanding terbalik dengan konsekuensi yang harus ditanggung dan skala mitigasi yang harus diambil.
Jika semua lahan gambut Indonesia terbakar, penyerapan seluruh karbon yang terlepas akan memerlukan nyaris satu kuadriliun bibit pohon yang telah ditanam selama sepuluh tahun.
Usaha merestorasi jutaan hektar hutan dan lahan gambut yang terlanjur rusak membutuhkan tak hanya usaha dan biaya, namun juga waktu. Padahal, laporan Penilaian ke-6 (AR6) Panel Ahli Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) menunjukkan bahwa waktu yang dimiliki dunia sebelum mencapai kenaikan suhu 1,5 derajat Celsius pada pertengahan abad sudah hampir habis.
Indonesia memiliki beban emisi CO2 kumulatif sebesar 14,4 gigaton pada 2020. Angka ini diproyeksikan terus bertambah dari tahun ke tahun. Jika Indonesia baru akan memulai restorasi hutan dan lahan tahun 2021, pun dengan asumsi perusakan lebih lanjut dapat dihindari, Indonesia masih akan sulit mencapai target pemotongan emisi 17% di sektor FOLU.
Perlu diingat pula bahwa untuk memenuhi komitmen Perjanjian Iklim Paris 2015, AR6 IPCC menemukan bahwa NDC seluruh negara semestinya tiga kali lebih ambisius dari sekarang.
Sementara reboisasi harus terus dikerjakan, pemerintah juga perlu mengutamakan fokus untuk menjaga hutan dan lahan gambut yang masih tersisa. Selain menjaga habitat asli flora dan fauna liar, langkah ini juga menguntungkan secara ekonomi, baik bagi warga setempat maupun pemerintah.
Mekanisme pasar karbon (carbon market) telah mulai berkembang di banyak negara. Salah satu prinsip utamanya: jumlah kompensasi berbanding lurus dengan kuantitas karbon yang dapat diserap dan disimpan.
Indonesia sendiri baru saja mengumumkan kebijakannya terkait Nilai Ekonomi Karbon (NEK) atau carbon pricing pada COP26. Ini merupakan langkah lanjutan pemerintah untuk membangun pasar karbon nasional setelah sebelumnya mengesahkan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang memuat peraturan nasional terkait pajak karbon.
“Kesadaran sudah mulai tumbuh bahwa melestarikan apa yang ada akan lebih murah dan lebih efisien daripada membangun kembali apa yang telah hancur – konservasi harus diprioritaskan daripada restorasi.”
Christopher Martius, Direktur Pelaksana Pusat Riset Kehutanan Internasional (CIFOR) Jerman
Berdasarkan pemantauan KLHK, Indonesia masih memiliki 95,6 juta hektar lahan berhutan—lebih dari setengah luas total daratan nasional—pada tahun 2020. Di samping itu, Indonesia juga memiliki sekitar 22,5 juta hektar lahan gambut menurut data Global Wetlands tahun 2019.
Moratorium hutan dan lahan gambut telah mencakup sekitar 66,1 juta hektar dari jumlah tersebut. Artinya, masih ada sekitar 50 juta lahan berhutan dan gambut yang masih dapat dan perlu segera dilindungi.
Menjaga area sedemikian luas tentunya sulit dicapai hanya dengan usaha pemerintah semata. Untuk itu, dibutuhkan kolaborasi dan partisipasi dari banyak pihak, terutama masyarakat lokal.
Langkah pertama untuk meningkatkan partisipasi yaitu dengan keterbukaan data, terutama dari pemerintah.
Perlindungan lingkungan sangat bergantung pada pengawasan dan penegakan hukum yang baik. Dengan demikian, peta dan data spasial yang akurat, detail, mutakhir, dan mudah diakses publik sangat krusial dalam menghindari tumpang tindih data pada acuan.
Kebijakan Satu Peta (One Map Policy) yang diteruskan oleh Presiden Jokowi dari era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono merupakan langkah yang menjanjikan. Melibatkan 24 lembaga dan kementerian serta mencakup 34 provinsi, Informasi Geospasial Tematik (IGT) akan diwujudkan dalam 158 peta tematik untuk menyinkronkan data pemanfaatan berbagai sektor, termasuk kehutanan dan pertanian.
Sayangnya, proses penyusunan peta bersama ini dinilai masih relatif tertutup. Set data yang digunakan sebagai basis juga secara eksklusif berasal dari kementerian dan lembaga negara.
Menurut pengamatan Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), set data Kebijakan Satu Peta saat ini masih kurang menghormati hak masyarakat adat setempat. Padahal jika dibandingkan, hasil upaya konservasi alam oleh masyarakat adat setidaknya seimbang dengan, kalau tidak lebih baik dari, yang dikerjakan oleh pemerintah. Pasalnya, keterikatan masyarakat adat dengan lingkungannya jauh melebihi kepentingan ekonomi.
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyatakan bahwa area hutan seluas 57 juta hektar, atau lebih dari empat kali Pulau Jawa, ada di sekitar masyarakat adat—sekitar 70%-nya masih dalam kondisi baik. Total luasan wilayah tersebut menyimpan sekurang-kurangnya 37 gigaton karbon.
Untuk memaksimalkan pemberdayaan masyarakat adat dalam negeri, Indonesia mungkin bisa mencontoh kesuksesan program seperti Green Ethiopia.
Melalui program ini, masyarakat lokal, terutama perempuan, diberdayakan untuk melakukan reboisasi dan restorasi lahan menggunakan campuran aneka tanaman lokal. Model kepemilikan komunal juga mendorong masyarakat lebih terlibat dalam pelestarian lahan maupun hutan yang telah ada.
Belajar dari kegagalan
Lebih dari 100 negara peserta konferensi perubahan iklim tahunan PBB 2021 di Glasgow mendeklarasikan komitmen mengakhiri deforestasi di 2030. Indonesia turut terlibat di dalamnya, meski Menteri LHK juga menggarisbawahi bahwa carbon-sink di sektor lahan dan perhutanan tidak sama dengan penghentian total deforestasi dan tidak seharusnya menghentikan pembangunan.
Pembangunan besar-besaran era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi.
— Siti Nurbaya Bakar (@SitiNurbayaLHK) November 3, 2021
Terlepas dari pro kontra yang timbul, momen ini disebut sebagai capaian besar pertama COP26. Pasalnya, negara-negara yang sebelumnya tidak berpartisipasi dalam deklarasi serupa tahun 2014 di New York seperti India, Brazil, China, dan Malaysia, kali ini turut ambil bagian.
Termasuk ke dalam Glasgow Leaders’ Declaration on Forest and Land Use adalah komitmen paket pendanaan publik dan swasta sebesar £14 miliar (Rp 271,5 triliun) untuk restorasi kerusakan lahan, mitigasi kebakaran hutan, serta dukungan bagi masyarakat adat setempat sebagai pelindung hutan. Paket pendanaan ini juga mencakup £1,5 miliar (Rp 29 triliun) dari Pemerintah Inggris untuk perlindungan hutan—£350 miliar (Rp 6,7 triliun) di antaranya untuk Indonesia.
Belajar dari kegagalan dengan Norwegia, Indonesia dapat memanfaatkan momentum kepemimpinan Kelompok Dua Puluh (G20) sebagai lembaran baru dalam kerja sama internasional. Selain melanjutkan pembahasan kerja sama bilateral dengan Inggris, Indonesia perlu membuka lebih banyak kerja sama di bidang lingkungan, terutama dengan negara anggota G20 lainnya.
Indonesia juga perlu meningkatkan kapasitas pengelolaan serta pemanfaatan dana lingkungan, baik dari donor maupun dari hasil perdagangan karbon. Alih-alih membiarkan pasar meregulasi diri, ada baiknya dana digunakan untuk mengedukasi dan memberdayakan warga lokal tak hanya untuk merestorasi tapi juga menjaga bentang alam yang masih ada.
Seperti halnya pelestarian alam bisa sejalan dengan pertumbuhan ekonomi, pencapaian carbon-sink sebaiknya juga sejalan dengan kesejahteraan masyarakat luas dan bukan hanya para pemangku kepentingan dan pemilik modal.
All texts created by the Climate Tracker Asia are available under a “Creative Commons Attribution 4.0 International Licence (CC BY 4.0)” . They can be copied, shared and made publicly accessible by users so long as they give appropriate credit, provide a link to the license, and indicate if changes were made.Tumbuhan kemudian menggunakan gas tersebut untuk diubah dalam proses fotosintesis menjadi materi organik atau biomassa yang sebagian digunakan untuk sumber energi dan sebagian disimpan dalam bagian tubuh.